Objek Kajian Semiotika (LUKISAN KARYA S. SUDJOJONO)

Pendahuluan 


“Seni adalah jiwa ketok” (jiwa yang tampak). Kalimat ini adalah prinsip S. Sudjojono (1914-1986) dalam mendalami seni rupa terutama ditekankan pada muridmuridnya dalam membesarkan perkembangan seni rupa Indonesia di bawah organisasi yang dinamakan dengan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), didirikan pada tahun 1937 (Soedarso: 2000). Sudjojono disebut sebagai bapak seni rupa Indonesia atas sepak terjangnya dalam membina dan mengembangkan seni lukis di mana Indonesia dalam masa krisis sosial, politik, dan ekonomi. Salah satu lukisan yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat di zaman S.Sudjojono berjudul ‘Kawankawan Revolusi’. Selintas lukisan ini menggambarkan tokoh-tokoh yang terkesan heroik dalam mengembangkan semangat perjuangan di segenap penjuru Bangsa Indonesia.


Isi 


Bentuk Formal : Lukisan ( Visual )

Penelitian ini bersandarkan pada analisis terhadap gambar-gambar tokoh yang terdapat dalam lukisan Sudjojono berjudul “Kawan-kawan Revolusi”. Oleh karena itu, kerangka teoritik yang dianggap relevan ialah teori semiotik, khususnya Teori Semiotika Menurut Ferdinand de Sausure.

Penanda : Seniman harus merdeka-semerdekanya, terlepas dari segala ikatan moral maupun tradisi untuk bisa hidup subur, segar, dan merdeka (Sudjojono: 2012).

Pertanda : Di balik itu, bagi Sudjojono dan kawankawan, ketertindasan juga merupakan cambuk untuk bangkit menantang invansi, mempertahankan prinsip hidup dan ideologi, terutama harga diri. Dalam karyanya, di tengah-tengah maraknya ideologi yang mengambang di tanah air (bangsa Indonesia), gagasan-gagasan estetika Sudjojono lebih menekankan dan menyerukan pentingnya Nasionalisme, meskipun pengungkapannya Internasional (Universal).


KAWAN-KAWAN REVOLUSI KARYA S. SUDJOJONO

Ketertindasan menjadikan sebagian rakyat Indonesia (seniman) kehilangan pandangan hidup, dan hanya mampu melihat kulit luar tapi samar dalam melihat kedalaman. Sehingga pengungkapan ke dalam karya pun sebagian seniman pada masanya cenderung mempresentasikan sesuatu hal yang indah-indah, yaitu tidak lain dari lukisan-lukisan pemandangan: sawah dibajak, sawah yang berair jernih dan tenang atau gubuk di tengah-tengah padang padi, tidak lupa pula pohon-pohon kelapa di dekatnya atau bambu dan gunung yang kebiru-biruan di jauh mata (Sudjojono: 2006). Tidak mampu menjangkau penderitaan sebagian jiwanya dari apa yang mereka lihat. Berbalik dengan Sudjojono, yang lebih menekankan prinsip hidup, mampu menjangkau sebagian jiwanya yang tercerabut. Sehingga bagi “Kawan-kawan Revolusi” untuk dapat sedikit menunda rasa besar hati, dan seyogianya mencoba mengamati dan memahami jika dalam gaya ungkap Sudjojono terdapat kejujuran yang benar-benar pahit. Pahit, itulah realitas yang sebenarbenarnya realitas pada masanya.


Kembali pada pandangan Sudjojono, seperti adagiumnya; ‘seni adalah jiwa ketok (tampak)’. Selintas, lukisan ini menunjukan bagaimana keadaan jiwa Sudjojono tampak, mewujud sebagai bentuk kondisi jiwa yang kemungkinan anggapan; mengingkari atau mengkritisi dengan menelaah sesuatu yang tersirat dari yang tersurat.


Secara kesejarahan, lukisan Sudjojono begitu timpang. Dan jika tidak ingin dikatakan bahwasanya terdapat ketimpangan sejarah dan nilai-nilai yang paradoks, tentu lukisan tersebut menyajikan sesuatu yang tersirat. Entah atas dari semua ini, Sudjojono mencoba (secara tidak langsung) mendidik/mengajarkan dalam langkah awal pergerakan seni rupa di Indonesia di bawah naungan PERSAGI bagaimana apresiator tidak menelan mentah-mentah apa yang ditawarkan. Dalam menikmati, menginterpretasi dan menilai karya seni, apresiator perlu memamah dan berganti-ganti sudut pandang dalam melihat makna yang terkandung dalam suatu bentuk hasil ‘ciptaan’ (karya seni).


Untuk itu, sekiranya upaya yang dilakukan Sudjojono dengan – bahwasanya masyarakat apresiator dalam era masa kermerdekaan Indonesia di mana dua tahun setelah mewujud karyanya berjudul ‘Kawan-kawan Revolusi’, penonton perlu dididik guna menstabilkan dinamika perkembangan seni rupa pada wilayah seniman, kritikus (yang pada umumnya penyebrangan pikiran oleh) dan penonton. Mendidik dimaksud, dengan tidak sebatas menyajikan suatu karya seni tanpa tendensi apapun yang disebut sebagai aliran seni popular. Melainkan karya seni juga dapat mengajarkan apresiator mempelajari kesejarahan dengan menampilkan hal-hal yang tidak biasa guna memancing daya kritis pambacanya (apresiator) kepada hal-hal yang seharusnya.

 

Kesimpulan 



Berangkat dari paparan pada halaman-halaman sebelumnya, sangat jelas bahwasanya dalam ‘Kawankawan Revolusi’ tersirat kritikan, kecaman, kekecewaan mendalam dari Sudjojono sendiri atas segala keganjilan hidup yang dirasakan semasa hidup atau pun dalam kehidupan yang akan datang. Maknamakna yang lahir secara spontan tidak henti-hentinya bermunculan dari dalam kanvas. Bayangan-bayangan kepedihan dan penderitaan dari masa lalu ataupun masa yang akan datang. Lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat yang setiap waktu selalu merasa cemas; seperti apa hidup yang mesti dijalani esok hari? Membuat Sudjojono sangat peka dalam pelukisan-pelukisan apa-apa yang tersirat dalam realitas, sehingga hasil dari setiap goresan pada kanvas dapat pula menjadi saksi kejamnya peradaban antar manusia di tanah bangsa (Indonesia) ini. Inilah fokus utama kenapa ‘Kawankawan Revolusi’ hadir.


Sumber:

Ghifari, M, Susandro, & Taruan, Hatmi N. (2020). KAJIAN SEMIOTIK LUKISAN KAWAN-KAWAN REVOLUSI KARYA S. SUDJOJONO. Gorga Jurnal Seni Rupa, 9(1).


Sekian Tulisan saya mengenai  Objek Kajian Semiotika Seni Rupa dan Desain. Semoga bermanfaat. Keep Healthy dan Terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Interdisiplin Dalam Penelitian Pendidikan Seni Rupa

SEMIOTIKA : Penanda dan Petanda